KENAIKAN HARGA LPG 12 KG
Beberapa hari lalu pertamina
mengumumkan kenaikan harga gas LPG untuk ukuran 12 kg, yang tadinya harga
ecereran dari Rp 75.000 menjadi harga Rp 129.000 (pada kenyataannya di lapangan
dibandrol dengan harga Rp 140.000. Sebelum adanya kenaikan harga LPG ukuran 12
kg, LPG 3kg yang bersubsidi sulit dicari
di pasaran, jikapun ada harganya dibandrol dengan harga Rp 15.000- Rp 17.000.
yang dikhawatirkan kelangakaan ini
merupakan upaya penimbunan yang dilakukan oleh para pedagang, sehingga harganya
bisa dipermainkan. Yang mungkin juga bisa dilakukan adalah upaya pemindahan
kemasan dari 4 kemasan ukuran 3kg di suntikan ke tabung yang berisi 12 kg guna
mendapatkan keuntungan yang berlipat lipat, tentunya hal ini akan menguntungkan
para pedagang, bila penyuntikan yang dilakukan ini kurang sempurna dan tidak
sesuai dengan standard yang direkomendasikan, konsumenlah yang akan menanggung
resikonya yaitu meledak, konsumenlah yang menjadi korbanya.
Beberapa waktu lalu ketika
pertama kali pemerintah menerapkan merubah konversi konsumsi dari minyak tanah ke pemakaian
gas LPG, dengan membagi bagikan kompor
gas, regulator bersama selang dan tabung ukuran 3 kg, banyak masalah yang
terjadi yaitu banyak yang menjadi korban baik itu meninggal dunia atau
menanggung cacat tetap akibat ledakan yang terjadi akibat penggunaan gas LPG
tabung ukuran 3 kg, bahkan ada juga yang berukuran 12 kg. Untuk yang terakhir
ini terjadi ternyata diakibatkan adanya penyuntikan dari tabung ukuran 3 kg ke tabung yang berukuran 12 kg,
karena pedagang melihat adanya peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih.
Dengan kenaikan harga LPG untuk ukuran 12 kg yang cukup tinggi, tidak membuka
kemungkinan adanya kecurangan yang dilakukan oleh pedagang dengan mengkonversi
ukuran tabung 3 kg ke tabung ukuran 12 kg, karena untung yang diperoleh lumayan
menggiurkan.
Kenaikan
harga gas LPG sebagian besar disebabkan kerangka regulasi (yg disetujui DPR)
mewajibkan semua BUMN harus profit (tanpa subsidi), termasuk BUMN yg memproduksi
Sumber daya alam (gas, produk hutan, tambang, dst). Menjadi soal ketika
Indonesia sebagai penghasil gas terbesar di dunia, tapi utk konsumsi publik dlm
negeri harus menggunakan harga gas internasional, sementara biaya produksi
pakai tarif dalam negeri. Sesungguhnya tidak semua ikut harga pasar
internasional, itu baik bagi publik, terutama di negara yg memiliki kekayaan
Sumber daya alam yang melimpah. Karena semua hal yang berhubungan subsidi itu buruk, terutama bagi sektor yang
berterkaitan dengan kebutuhan dasar
rakyat. Karena itulah ada peran pemerintah (pengelola negara). Lalu jika warga
disuruh ikuti semua harga internasional, sementara sumberdaya alam negaranya
melimpah, lalu buat apa ada pemerintah?.
Sungguh
ironis Indonesia yang kaya akan sumber daya alam seperti gas harus mengalami
kesulitan dalam membeli gas LPG sebagai bagian kebutuhan dasar rakyatnya.
Statement pertamina mengaku rugi dengan
LPG di dalam negeri karena
menggunakan tarif kurs dollar, Lha kalau
sudah begini mengapa kurs rupiahnya tidak dijaga oleh pemerintah agar terus
naik dan dan tidak terus melorot menembus angka di atas Rp 12.300. Bagaimana
agar kurs rupiah ini tidak terus
melorot?. Ya kerjasamalah yang
baik antara Kementrian Keuangan, kementrian perdagangan dan Bank Indonesia agar
membuat paket kebijakan bersama yg mendorong ekspor dan menghambat impor produk tertentu. Jika kita
lihat dulu ketika pertama kali republik ini mengalami krisis moneter di tahun
1997-1998, Kurs dolar mencapai angka tertingginya yang bisa menembus angka
diatas Rp 15.00, Dibawah kepemimpinan presiden BJ Habibie dulu bisa mengendalikan nilai tukar
US$ dari angka diatas Rp 15.000, menjadi
Rp 6.000. Inilah yang harus ditiru oleh para pengelola republik ini
sekarang.